Tren meninggalkan media sosial telah menjadi fenomena yang semakin menarik perhatian publik. Apa saja alasan berhenti media sosial yang mendasari keputusan banyak orang ini? Awalnya dirancang sebagai jembatan komunikasi jarak jauh, media sosial kini justru berubah menjadi sumber kecemasan, terutama di kalangan anak muda. Banyak individu kini mencari cara untuk melakukan media sosial detox demi kesehatan mental yang lebih baik. Informasi ini bersumber dari Gamebrott.
Ironisnya, alih-alih mendekatkan, media sosial seringkali menimbulkan efek sebaliknya. Kita menjadi semakin asing dengan orang-orang terdekat, karena kepribadian mereka di dunia maya seringkali berbeda jauh dengan realitas di dunia offline. Fenomena ini menjadi salah satu pemicu utama kelelahan yang dialami banyak pengguna.
Perkembangan platform ini dalam beberapa tahun terakhir juga membuatnya bukan lagi tempat pelarian yang menyenangkan. Sebaliknya, banyak yang menemukan bahwa hidup terasa jauh lebih tenang saat memutuskan untuk menghentikan penggunaan media sosial sepenuhnya. Ini adalah salah satu alasan berhenti media sosial yang kuat.

Algoritma Adiktif dan Jebakan Infinite Scrolling
Pengalaman menggunakan platform seperti Facebook, Instagram, atau X saat ini jauh berbeda dengan tahun-tahun awal peluncurannya. Kini, media sosial adalah sarang algoritma yang secara terus-menerus menyajikan konten dari berbagai penjuru, bahkan dari pembuat yang tidak kita kenal.
Fungsi utama media sosial sebagai sarana komunikasi dengan teman-teman seakan telah hilang. Platform ini bertransformasi menjadi mesin yang bertugas memberikan dopamin secara konstan melalui fitur infinite scrolling. Fitur ini, bagi banyak pihak, merupakan salah satu momen kemunduran terbesar media sosial.
Adiksi adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana mekanisme scroll tanpa batas ini bekerja. Fitur ini selalu menyuguhkan konten-konten baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Otak manusia memang dirancang untuk terus mendapatkan informasi baru.
Bahkan, sebuah penelitian menguji bahwa manusia yang dikurung dalam ruangan kosong tanpa stimulus selama beberapa hari akan berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Fenomena serupa inilah yang dimanfaatkan oleh pengembang platform seperti Meta, TikTok, dan Google untuk terus menyajikan informasi baru dalam bentuk konten secara konstan.

Doomscrolling dan Rentetan Berita Politik yang Mengkhawatirkan
Tidak jarang konten yang disajikan berupa konten depresi dan mengkhawatirkan, yang kemudian memunculkan istilah baru bernama doomscrolling. Medsos kini juga telah menjadi sarang dari berita-berita politik yang selalu saja membuat khawatir.
Isinya merupakan pertunjukan dramatis yang diperankan oleh pejabat negara, di mana kita menjadi penonton yang siap memberikan komentar, baik pujian maupun cacian. Lambat laun, hidup tidak akan terasa tenang karena media sosial juga cenderung mengutamakan sajian berita sensasional untuk mendapatkan klik atau engagement.
Beberapa pengguna semakin menyadari bahwa candu yang dihasilkan oleh media sosial ini tak ubahnya racun, setidaknya untuk kesehatan mental. Para pengembang platform tersebut tampaknya terus membiarkan fenomena ini terjadi. Oleh karena itu, langkah terakhir sekaligus mutakhir yang bisa dilakukan adalah: pergi.

Ilusi Kehidupan Influencer dan Perbandingan Sosial
Selain doomscrolling, media sosial kini juga bak ajang untuk mempertontonkan kemewahan dari segelintir orang yang dikenal lewat istilah influencer. Mereka memperlihatkan kehidupan yang luar biasa, menyenangkan, seru, dan penuh hal baru. Namun, realitas kehidupan tidaklah seperti itu.
Kebanyakan dari kita menjalani hari dengan rutinitas bangun pagi, sarapan, berangkat kantor, pulang, makan malam, lalu tidur. Proses ini harus diulang setidaknya 5 atau 6 hari dalam seminggu. Jarang ada situasi istimewa yang terjadi dalam kehidupan normal.
Lalu, mengapa para influencer ini tampak memiliki hidup yang dramatis? Jawabannya sebenarnya sederhana: semua ini hanya settingan. Para influencer harus memutar otak untuk menciptakan konten yang menarik bagi penonton, meskipun aslinya mereka tidak pernah merasakannya sehari-hari.
Media sosial juga menjadi ajang bagi sesama pengguna untuk mempertontonkan kehidupan mereka masing-masing. Begitu ada postingan baru berisikan teman membeli mobil baru, kerabat jalan-jalan ke luar negeri, atau saudara yang baru membuka bisnis, kita akan merasa tertinggal. Padahal, seharusnya kita tahu bahwa mereka juga perlu perjuangan keras untuk mencapai hal tersebut.
Namun, karena kita tidak pernah melihat prosesnya dan langsung melihat hasilnya, otomatis otak kita akan menciptakan perasaan bahwa kita telah gagal sementara mereka dengan mudahnya berhasil. Pertunjukan non-stop ini cepat atau lambat akan menimbulkan kelelahan. Lambat laun kita akan merasa bahwa hal semacam ini tidak baik untuk kesehatan mental, dan solusi terakhir yang bisa ditempuh adalah meninggalkan media sosial.
Konten AI, Hoaks, dan Isu Dead Internet Theory
Selain algoritma yang kejam, banyaknya konten-konten Artificial Intelligence yang bermunculan juga melelahkan. Beberapa konten yang sengaja dibuat untuk menyebarkan hoaks dan misinformasi juga semakin tak terbendung.
Hal tersebut semakin mengkhawatirkan ketika algoritma tidak berusaha menghentikan penyebaran konten sejenis, malah berperan sebagai penyiram bensin dalam api. Fenomena ini juga yang memicu adanya teori konspirasi soal Dead Internet Theory yang pernah dibahas di artikel sebelumnya. Jika isi internet saat ini kebanyakan bukan konten buatan manusia, maka untuk apa berada di dalamnya?

Manfaat Media Sosial Detox untuk Keseimbangan Hidup
Dengan berhenti menggunakan media sosial, kita telah secara tidak langsung melakukan detox pada mental. Waktu yang biasanya kita buang untuk melakukan scrolling reels di Instagram atau konsumsi video pendek di TikTok jadi bisa digunakan untuk hal lain yang jauh lebih produktif.
Kini kita akan memiliki banyak waktu untuk membaca, belajar hal baru, berkreasi, atau bahkan memperbaiki diri. Ketika kita sudah sadar akan dampak negatifnya, maka jawabannya akan jadi lebih mudah. Media sosial bukan lagi menjadi kekangan yang terus menjebak.
Ini bukan soal berhenti sepenuhnya dari media sosial, tetapi tentang bagaimana kita menjaga agar teknologi buatan manusia ini tidak berbalik merugikan kita sebagai pengguna. Penting untuk mengambil kembali kendali atas waktu dan perhatian kita. Berikanlah waktu istirahat yang cukup agar hidup jadi lebih seimbang.

Kalau menurut kamu gimana? Apakah kamu sedang melakukan detox medsos atau juga merasakan tren meninggalkan media sosial ini?